• Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
Canvas Logo Canvas Logo
  • Home
  • Nasional
  • Daerah
  • Dunia
  • Hukum
  • Keamanan
  • Indeks
Oleh: Romli Atmasasmita

Mega-Skandal Hukum Pemberantasan Korupsi di KPK

  • Sabtu, 23 Desember 2023 | 07:16
Mega-Skandal Hukum Pemberantasan Korupsi di KPK

PENGALAMAN mengamati sepak terjang KPK dalam pemberantasan korupsi sejak pembentukannya tahun 2002 menunjukkan bahwa di samping keberhasilan memenjarakan pelaku korupsi masih terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran UU mengenai tata cara pemeriksaan yang berasaskan fair trial dan due process of law yang tidak perlu terjadi namun telah berlangsung sejak tahun 2009; 14 tahun yang lampau tanpa koreksi.

Berdasarkan Peraturan KPK 3/2009 tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK telah ditetapkan bahwa, pengambilan Keputusan harus dilakukan oleh minimal 3 (tiga) anggota Pimpinan (qorum). Dalam hal tidak mencapai qorum digunakan saluran komunikasi yang ada antar pimpinan untuk menyampaikan pendapatnya tentang Solusi permasalahan yang diajukan atau ditempuh pola mendesak.

Keputusan pimpinan KPK sekurang-kurangnya oleh 3 (tiga) orang dapat dilakukan jika (a) keadaan mendesak, (b) bersifat operasional, (c) anggota pimpinan berhalangan sementara, (d) anggota pimpinan diberhentikan sementara, (e) anggota peimpinan berhentika atau diberhentikan.

Secara keseluruhan ketentuan yang diatur dalam Peraturan KPK 03/2009 telah melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU 30/2002 tentang KPK, dan secara khusus ketentuan ketentuan Bab III tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan.

Tujuan peraturan aquo adalah menyelesaikan pemeriksaan perkara korupsi secara efisien dan efektif tidak tertunda-tunda yang dapat menghambat pemberantasan korupsi namun demikian tentu tidak juga mengabaikan ketentuan tentang prosedur pembentukan peraturan perundanganan berdasarkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang antara lain tentang Perubahan Perundangan.

Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 menyatakan bahwa, Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sedangkan Pasal 8 ayat (1) menyatakan antara lain bahwa jenis peraturan perUuan termasuk Peraturan Komisi yang diatur setingkat dengan UU.

Merujuk pada ketentuan UU 12/2011 tersebut jelas bahwa Peraturan KPK tidak boleh bertentangan jenis peraturan UU  di atasnya (UU 3/2002), dan Peraturan Komisi aquo harus diperintahkan oleh UU KPK 2002.

Begitupula dalam hal pengundangan, Bab XI UU 12/ 2011 telah menyatakan bahwa, proses pengundangan peraturan perudangan termasuk PeraturanKPK harus melalui prosedur yang ditetapkan dalam UU aquo antara lain wajib diketahui dan disetujui dan ditandatangani oleh Menteri yang membidangi Hukum dan Perundangan dan diumumkan di dalam Berita Negara atau lembaran Negara (Pasal  81).

Pemberlakuan Perturan KPK 03/2009 telah dilaksanakan tanpa melalui prosedur yang sah berdasarkan UU 12/ 2011 sehingga tidak memiliki kedudukan hukum yang kuat sebagai suatu peraturan perundangan yang sah dan tidak mengikat baik   ke dalam maupun kepada Masyarakat luas termasuk setiap orang yang diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka.

Di dalam penegakan hukum secara universal diakui dan telah peringatkan agar tidak didasarkan pada prinsip the means jutifiy the ends karena cara tersebut merupakan  pelanggaran terhadap prinsip  bahwa  setiap orang berhak termasuk dalam status tersangka untuk memperoleh jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.

Di dalam teori maupun praktik hukum  telah diakui bahwa, hukum acara mengenai tata cara pemeriksaan dalam perkara pidana yang telah ditetapkan dengan UU tidak dapat ditafsirkan lebih luas daripada apa yang telah secara jelas diatur di dalamnya karena tata cara tersebut pembatasan penggunaan wewenang berdasarkan UU yang sangat rentan terhadap pelanggaran   hak-hak asasi seseorang.

Contoh, penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka prinsipnya merupakan pelanggaran hak asasi akan tetapi tindakan tersebut sah dilakukan karena UU mengatur dan membolehkannya/tidak dilarang.

Kekeliruan KPK dalam melaksanakan proses pemeriksaan tahap penyelidikan sering terjadi di mana KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka pada akhir tahap penyelidikan tidak di akhir tahap penyidikan.

Hal ini sesungguhnya telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 5 UU 8/1981 KUHAP.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sedangkan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Selain masalah prosedur Peraturan KPK 03/2009 telah melanggar prinsip kolektif-kolegial sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 5 ayat (1)  UU KPK 2002; yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif kolegial adalah bahwa setiap pengambilan Keputusan harus disetujui dan diputuskan bersama-sama oleh Pimpinan KPK.”

Ketentaun Pasal 21 ayat (5) UU KPK2002 telah diperkuat oleh Putusan MKRI 49/PUU-XI- 2013 yang  di dalam pertimbangannya telah menguatkan ketentuan keharusan Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil tindakan yang luar biasa.

Hal tersebut juga dimaksudkan agar KPK bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil Keputusan hukum dalam pemberantasan korupi karena jika tidak demikian, atau hanya diberikan kewenangan kepada seorang ketua atau dengan Keputusan mayoritas anggota pimpinan, akan dikhawatirkan adanya kesalahan dan kekeliruan atau penyalahgunaan KPK oleh kekuatan politik lain di luar KPK.

Merujuk pertimbangan putusan MKRI aquo, Majelis Hakim Konstitusi dalam Perkara Nomor 49 menyadari keluarbiasaan wewenang pimpinan KPK dalam pemberantasan korupsi dan betapa besar pengaruh-pengaruh kekuasaan atau kelompok-kelompok dalam Masyarakat terhadap kinerja KPK.

Berangkat dari uraian tentang kepemimpinan berasaskan kolektif kolegial tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada sedikitpun celah penafsiran hukum lain selain apa yang tertulis dalam ketentuan pasal aquo.

Namun demikian praktik peradilan pidana khususnya dalam sidang praperadilan yang memasalahkan kewenangan penetapan tersangka  yang secara expressif  verbis bertentangan dengan ketentuan KUHAP tentang Penyelidikan telah disahkan Hakim Sidang Praperadilan sedangkan Upaya hukum untuk mengajukan peninjauan Kembali  telah dilarang berdasarkan Pasal 3 (1) Peraturan MARI 4/2016.

Dalam konteks ini adalah menjadi tidak adil bagi pencari keadilan di mana Putusan MKRI telah memberikan celah hukum kepada Negara dalam hal ini diwakili Kejaksaan/jaksa untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dan tertutup celah hukum bagi pencari keadilan untuk menikmati kebebasannya karena putusan pengadilan.

Di lain pihak Peraturan MARI 4/2016 justru menutup celah hukum bagi pencari keadilan untuk mengajukan Upaya hukum terhadap putusan praperadilan yang telah menolak permohonan prapaeradilannya. Dilematika hukum sebagaimana diuraikan sudah tentu  politik hukum yang adil dan bijaksana.

Penulis adalah Gurubesar Hukum Universitas Padjadjaran

Mega-Skandal Hukum Pemberantasan Korupsi di KPK

PENGALAMAN mengamati sepak terjang KPK dalam pemberantasan korupsi sejak pembentukannya tahun 2002 menunjukkan bahwa di samping keberhasilan memenjarakan pelaku korupsi masih terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran UU mengenai tata cara pemeriksaan yang berasaskan fair trial dan due process of law yang tidak perlu terjadi namun telah berlangsung sejak tahun 2009; 14 tahun yang lampau tanpa koreksi.

Berdasarkan Peraturan KPK 3/2009 tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan Pimpinan KPK telah ditetapkan bahwa, pengambilan Keputusan harus dilakukan oleh minimal 3 (tiga) anggota Pimpinan (qorum). Dalam hal tidak mencapai qorum digunakan saluran komunikasi yang ada antar pimpinan untuk menyampaikan pendapatnya tentang Solusi permasalahan yang diajukan atau ditempuh pola mendesak.

Keputusan pimpinan KPK sekurang-kurangnya oleh 3 (tiga) orang dapat dilakukan jika (a) keadaan mendesak, (b) bersifat operasional, (c) anggota pimpinan berhalangan sementara, (d) anggota pimpinan diberhentikan sementara, (e) anggota peimpinan berhentika atau diberhentikan.

Secara keseluruhan ketentuan yang diatur dalam Peraturan KPK 03/2009 telah melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU 30/2002 tentang KPK, dan secara khusus ketentuan ketentuan Bab III tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan.

Tujuan peraturan aquo adalah menyelesaikan pemeriksaan perkara korupsi secara efisien dan efektif tidak tertunda-tunda yang dapat menghambat pemberantasan korupsi namun demikian tentu tidak juga mengabaikan ketentuan tentang prosedur pembentukan peraturan perundanganan berdasarkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang antara lain tentang Perubahan Perundangan.

Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 menyatakan bahwa, Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sedangkan Pasal 8 ayat (1) menyatakan antara lain bahwa jenis peraturan perUuan termasuk Peraturan Komisi yang diatur setingkat dengan UU.

Merujuk pada ketentuan UU 12/2011 tersebut jelas bahwa Peraturan KPK tidak boleh bertentangan jenis peraturan UU  di atasnya (UU 3/2002), dan Peraturan Komisi aquo harus diperintahkan oleh UU KPK 2002.

Begitupula dalam hal pengundangan, Bab XI UU 12/ 2011 telah menyatakan bahwa, proses pengundangan peraturan perudangan termasuk PeraturanKPK harus melalui prosedur yang ditetapkan dalam UU aquo antara lain wajib diketahui dan disetujui dan ditandatangani oleh Menteri yang membidangi Hukum dan Perundangan dan diumumkan di dalam Berita Negara atau lembaran Negara (Pasal  81).

Pemberlakuan Perturan KPK 03/2009 telah dilaksanakan tanpa melalui prosedur yang sah berdasarkan UU 12/ 2011 sehingga tidak memiliki kedudukan hukum yang kuat sebagai suatu peraturan perundangan yang sah dan tidak mengikat baik   ke dalam maupun kepada Masyarakat luas termasuk setiap orang yang diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka.

Di dalam penegakan hukum secara universal diakui dan telah peringatkan agar tidak didasarkan pada prinsip the means jutifiy the ends karena cara tersebut merupakan  pelanggaran terhadap prinsip  bahwa  setiap orang berhak termasuk dalam status tersangka untuk memperoleh jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.

Di dalam teori maupun praktik hukum  telah diakui bahwa, hukum acara mengenai tata cara pemeriksaan dalam perkara pidana yang telah ditetapkan dengan UU tidak dapat ditafsirkan lebih luas daripada apa yang telah secara jelas diatur di dalamnya karena tata cara tersebut pembatasan penggunaan wewenang berdasarkan UU yang sangat rentan terhadap pelanggaran   hak-hak asasi seseorang.

Contoh, penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka prinsipnya merupakan pelanggaran hak asasi akan tetapi tindakan tersebut sah dilakukan karena UU mengatur dan membolehkannya/tidak dilarang.

Kekeliruan KPK dalam melaksanakan proses pemeriksaan tahap penyelidikan sering terjadi di mana KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka pada akhir tahap penyelidikan tidak di akhir tahap penyidikan.

Hal ini sesungguhnya telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 5 UU 8/1981 KUHAP.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sedangkan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Selain masalah prosedur Peraturan KPK 03/2009 telah melanggar prinsip kolektif-kolegial sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 5 ayat (1)  UU KPK 2002; yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif kolegial adalah bahwa setiap pengambilan Keputusan harus disetujui dan diputuskan bersama-sama oleh Pimpinan KPK.”

Ketentaun Pasal 21 ayat (5) UU KPK2002 telah diperkuat oleh Putusan MKRI 49/PUU-XI- 2013 yang  di dalam pertimbangannya telah menguatkan ketentuan keharusan Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil tindakan yang luar biasa.

Hal tersebut juga dimaksudkan agar KPK bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil Keputusan hukum dalam pemberantasan korupi karena jika tidak demikian, atau hanya diberikan kewenangan kepada seorang ketua atau dengan Keputusan mayoritas anggota pimpinan, akan dikhawatirkan adanya kesalahan dan kekeliruan atau penyalahgunaan KPK oleh kekuatan politik lain di luar KPK.

Merujuk pertimbangan putusan MKRI aquo, Majelis Hakim Konstitusi dalam Perkara Nomor 49 menyadari keluarbiasaan wewenang pimpinan KPK dalam pemberantasan korupsi dan betapa besar pengaruh-pengaruh kekuasaan atau kelompok-kelompok dalam Masyarakat terhadap kinerja KPK.

Berangkat dari uraian tentang kepemimpinan berasaskan kolektif kolegial tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada sedikitpun celah penafsiran hukum lain selain apa yang tertulis dalam ketentuan pasal aquo.

Namun demikian praktik peradilan pidana khususnya dalam sidang praperadilan yang memasalahkan kewenangan penetapan tersangka  yang secara expressif  verbis bertentangan dengan ketentuan KUHAP tentang Penyelidikan telah disahkan Hakim Sidang Praperadilan sedangkan Upaya hukum untuk mengajukan peninjauan Kembali  telah dilarang berdasarkan Pasal 3 (1) Peraturan MARI 4/2016.

Dalam konteks ini adalah menjadi tidak adil bagi pencari keadilan di mana Putusan MKRI telah memberikan celah hukum kepada Negara dalam hal ini diwakili Kejaksaan/jaksa untuk mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dan tertutup celah hukum bagi pencari keadilan untuk menikmati kebebasannya karena putusan pengadilan.

Di lain pihak Peraturan MARI 4/2016 justru menutup celah hukum bagi pencari keadilan untuk mengajukan Upaya hukum terhadap putusan praperadilan yang telah menolak permohonan prapaeradilannya. Dilematika hukum sebagaimana diuraikan sudah tentu  politik hukum yang adil dan bijaksana.

Penulis adalah Gurubesar Hukum Universitas Padjadjaran

Tags:

KPKROMLI ATMASASMITA

Berita Terkait

Kaesang dan Isteri Dihujani Kritik, KPK Harus Periksa Sumber Dana Sewa Jet Prinadi Ke AS

Kaesang dan Isteri Dihujani Kritik, KPK Harus Periksa Sumber Dana Sewa Jet Prinadi Ke AS

  • 24 Agustus, 2024 | 15:00

Kasus Firli Bahuri: Kejaksaan Kembalikan Berkas Perkara, Penyidikan Bisa Dihentikan

Kasus Firli Bahuri: Kejaksaan Kembalikan Berkas Perkara, Penyidikan Bisa Dihentikan

  • 12 Agustus, 2024 | 12:44

Firli Bahuri Prihatin, KPK Kalah Dua Kali

Firli Bahuri Prihatin, KPK Kalah Dua Kali

  • 28 Februari, 2024 | 00:03

Ditinggal Firli, Dipimpin Nawawi, Kini KPK Hilang Taji

Ditinggal Firli, Dipimpin Nawawi, Kini KPK Hilang Taji

  • 27 Februari, 2024 | 23:15

Berita Lainnya

  • 01 Agustus, 2025 | 17:26

Jakarta BandungOke.com – Presiden Prabowo Subianto kembali menunjukkan langkah politik yang taktis dan menyejukkan. Usulan resmi pemerintah untu ...

Sosialisasi Empat Pilar, Teh Aanya Cetak Kader Literasi Muda Berkualitas

Sosialisasi Empat Pilar, Teh Aanya Cetak Kader Literasi Muda Berkualitas

  • 31 Juli, 2025 | 18:08

Komitmen Anggota DPD RI Aanya Rina Casmayanti terhadap penguatan gerakan literasi di kalangan pemuda semakin nyata. Lewat kegiatan Training of Trainer ...

Alumni Unpad Dirikan Koperasi Perumahan Wujudkan Hunian Terjangkau Berbasis Komunitas

Alumni Unpad Dirikan Koperasi Perumahan Wujudkan Hunian Terjangkau Berbasis Komunitas

  • 14 Juli, 2025 | 20:20

Sebagai upaya mendukung program pemerintah dalam penyediaan hunian terjangkau dan mendorong peran aktif koperasi dalam perekonomian nasional, sekelomp ...

Guru SD Gresik Pamit Mengajar Ditemukan Tewas misterius di dalam sumur sekolah

Guru SD Gresik Pamit Mengajar Ditemukan Tewas misterius di dalam sumur sekolah

  • 12 Juli, 2025 | 21:40

Seorang Guru Sekolah Dasar YS (47) di Desa Gresik Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan, tewas misterius jasadnya di temukan oleh warga di sumur s ...

GNS
HUT 79 RI

Terpopuler

PKS Tegaskan Dukungan untuk Prabowo

PKS Tegaskan Dukungan untuk Prabowo

Dirgahayu Polri, Polisi Ideal Itu Ada?

Dirgahayu Polri, Polisi Ideal Itu Ada?

Saatnya Pemerintah Pusat Adil pada Jawa Barat

Saatnya Pemerintah Pusat Adil pada Jawa Barat

KDM Gagal: SPMB 2025 Jabar Tidak Memberi Rasa Keadilan, Demosi Kadisdik Jabar

KDM Gagal: SPMB 2025 Jabar Tidak Memberi Rasa Keadilan, Demosi Kadisdik Jabar

Mamdani, Ibrahim Traore dan Prabowo Subianto: Tantangan Melawan Oligarki

Mamdani, Ibrahim Traore dan Prabowo Subianto: Tantangan Melawan Oligarki

Tag

ASEANFIRLI BAHURIJMSIJOKO WIDODOKAPASITAS KEPALA DESAKESENJANGAN FISKALKOPERASI PERUMAHANPKS DUKUNG PEMERINTAHPENGURUS JMSI

Connect with Us

Likes
Follow
Follow
Subscribe

Berita Terkini

Sosialisasi Empat Pilar, Teh Aanya Cetak Kader Literasi Muda Berkualitas

Sosialisasi Empat Pilar, Teh Aanya Cetak Kader Literasi Muda Berkualitas

Alumni Unpad Dirikan Koperasi Perumahan Wujudkan Hunian Terjangkau Berbasis Komunitas

Alumni Unpad Dirikan Koperasi Perumahan Wujudkan Hunian Terjangkau Berbasis Komunitas

Rubrik Utama

  • Nasional
  • Daerah
  • Dunia
  • Hukum
  • Keamanan

Tag

ASEANFIRLI BAHURIJMSIJOKO WIDODOKAPASITAS KEPALA DESAKESENJANGAN FISKALKOPERASI PERUMAHANPKS DUKUNG PEMERINTAHPENGURUS JMSI

Tentang BeritaPolitik.id

BeritaPolitik.id adalah situs penyedia informasi dan berita terkini dan terpercaya yang didedikasikan kepada masyarakat
Tentang Kami / Pedoman Pemberitaan Media Siber / Disclaimer / Kontak Kami / Pedoman Pemberitaan Ramah Anak / Kode Etik Jurnalistik
Copyright © 2021 - All Rights Reserved.