Oleh: Prof. Agus Pakpahan
Rektor IKOPIN Jatinangor
Prolog: Peringatan dari Masa Depan
Di sebuah sore di tahun 2045, seorang anak perempuan bertanya kepada neneknya: "Nek,kenapa zaman dulu banyak anak yang tidak bisa belajar dengan baik?"
Sang nenek menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca: "Cucuku,dulu kita terlalu sibuk memutihkan nasi, sampai lupa bahwa yang kita buang adalah masa depanmu."
Bagian 1: Pengakuan Sebuah Kesalahan Besar
Kita adalah generasi yang terjebak dalam ilusi. Selama 50 tahun, kita menyangka bahwa putih berarti bersih, putih berarti kaya, putih berarti modern.
Tapi alam bawah sadar kita sebenarnya tahu:
· Setiap kali kita menyantap nasi putih, ada suara kecil yang bertanya: "Apa ini yang terbaik untuk anak-anak kita?"
· Setiap kali kita melihat beras coklat dianggap kampungan, hati kita berbisik: "Sesuatu tidak beres dengan cara berpikir kita."
Data mengungkap kenyataan pahit:
· Setiap 1 menit, ada 2 balita Indonesia yang perkembangannya terganggu karena kekurangan zinc dari nasi putih
· Setiap 1 jam, 12 keluarga harus mengeluarkan biaya berobat karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh serat dalam beras coklat
· Setiap 1 hari, bangsa ini kehilangan 5 poin IQ kolektif karena magnesium yang terbuang
Bagian 2: Warisan Leluhur yang Terlupakan
Nenek moyang kita tidak pernah salah. Mereka menyebut beras sebagai "butir-butir kehidupan".
Christiaan Eijkman, pemenang Nobel dari Batavia, sekarang Jakarta, justru belajar dari nenek moyang kita. Ia menemukan bahwa beras utuh menyembuhkan beri-beri, sementara beras putih justru menyebabkan penyakit.
Tapi kita, generasi modern, lebih percaya pada tampilan daripada substansi. Kita lebih memilih yang putih dan bersih, daripada yang coklat dan bergizi. Kita memilih enak sambil membohongi diri harapan datangnya penyakit.
Bagian 3: Matematika Kesadaran yang Terlambat
Coba hitung dengan hati nurani:
· Butuh 17 ton beras putih untuk memenuhi kebutuhan zinc 1000 balita
· Tapi hanya perlu 7 ton beras coklat untuk kebutuhan yang sama
· Artinya, kita membuang 10 ton potensi gizi setiap 1000 balita
Setiap butir beras yang disosoh adalah:
· 1% lebih putih
· 1% lebih miskin zinc
· 1% lebih miskin magnesium
· 1% lebih dekat dengan stunting
Bagian 4: Mimpi yang Bisa Kita Wujudkan Bersama
Bayangkan ini di tahun 2045:
· Seorang ibu di Papua tidak lagi menangis karena anaknya tidak bisa berkonsentrasi di sekolah
· Seorang bapak di Jakarta bisa menyekolahkan tiga anaknya karena tidak ada biaya berobat
· Sepetak sawah di Jawa bukan hanya menghasilkan beras, tetapi menghasilkan kecerdasan bangsa
Ini bukan mimpi. Ini pilihan.
Bagian 5: Jalan Keluar yang Sudah Menunggu
Kita tidak perlu:
· Teknologi canggih
· Anggaran triliunan
· Tenaga ahli asing
Kita hanya perlu:
· Keberanian untuk mengakui kesalahan
· Kerendahan hati untuk belajar dari nenek moyang
· Kecerdasan untuk membaca ilmu pengetahuan
· Iman untuk bersyukur pada nikmat Allah yang utuh
Bagian 6: Seruan untuk Perubahan
Untuk Pengambil Kebijakan:
Dengarkan suara ibu-ibu Indonesia yang ingin anaknya sehat. Dengarkan bisikan petani yang ingin hasilnya dihargai. Dengarkan teriakan ilmuwan yang sudah membuktikan kebenaran.
Untuk Masyarakat: Setiap piring nasi adalah pilihan.Setiap butir beras adalah suara. Mari kita pilih yang membuat anak cucu kita bangga pada kita kelak.
Epilog: Warisan Kita untuk 2045
Suatu hari nanti, ketika anak-anak kita bertanya: "Apa yang kalian lakukan ketika tahu beras putih merusak generasi?"
Kita bisa jawab dengan bangga: "Kami mengubahnya.Kami memilih beras coklat. Untuk kalian."
Atau kita akan terdiam malu, karena memilih tetap dalam kesalahan.
Pilihan ada di piring kita hari ini
Tulisan ini terinspirasi oleh:
· Kearifan nenek moyang Nusantara
· Temuan Christian Eijkman tentang beri-beri
· Data defisiensi zinc dan magnesium terkini
· QS. An-Nahl: 114 tentang syukur nikmat
· Sabda Nabi tentang kesehatan sebagai nikmat terbesar