Oleh: Acep Aan
Koordinator Forum Ekonomi Kreatif Desa Budaya Provinsi Jawa Barat
Ada pepatah Sunda yang sarat makna: “Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala salengkah.” Artinya, menatap ke depan dengan langkah panjang, tapi tidak melupakan tapak sejarah di belakang. Pepatah ini seakan menjadi kunci bagi kita dalam membaca arah masa depan, tanpa tercerabut dari akar sejarah dan budaya yang membentuk jati diri bangsa.
Warisan Pahit dan Jejak Sejarah
Bangsa ini memiliki jejak panjang yang terekam dalam berbagai dokumen korporal—prasasti, naskah kropak, hingga babad. Jejak itu bukan sekadar peninggalan benda, melainkan bukti adanya peradaban dan sistem pemerintahan yang teratur. Dari Prasasti Tarumanegara, Galunggung, Kawali, hingga Batutulis di Bogor, kita mendengar gema nama-nama besar seperti Purnawarman, Sri Jayabupati, atau Niskala Wastu Kencana.
Demikian pula dari naskah kropak yang ditulis di daun nipah, kita mengenal Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksakandang Karesian, hingga Carita Ratu Pakuan. Nama-nama raja seperti Resi Guru, Sanjaya Harisdarma, hingga Tarusbawa hidup kembali dalam teks-teks itu, seakan menolak dilupakan.
Namun, warisan sejarah bukan hanya milik prasasti dan naskah tua. Ia juga lahir dari inisiatif para pemikir lokal yang berupaya mengabadikan memori kolektif bangsa. Salah satunya adalah Pangeran Wangsakerta dari Cirebon, dengan musyawarah Gotra Sawala pada abad ke-17. Bersama para ulama dan cendekiawan dari berbagai tradisi, ia merumuskan naskah-naskah besar seperti Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara—sebuah karya yang layak disebut mutiara Jawa Barat.
Menggali, Bukan Sekadar Mengingat
Menghargai sejarah bukan berarti terjebak dalam nostalgia. Justru sebaliknya, kita belajar membaca pola, kesalahan, dan kebijaksanaan masa lalu untuk membangun masa depan. Jejak kerajaan Sunda, Pajajaran, atau Galuh memberi pelajaran penting: peradaban selalu lahir dari keteraturan, kolaborasi, dan visi ke depan.
Pangeran Wangsakerta membuktikan bahwa jauh sebelum munculnya teori sejarah modern, para leluhur kita telah memiliki kesadaran dokumentasi, metodologi musyawarah lintas budaya, bahkan semacam diplomasi intelektual. Artinya, kita bukan bangsa tanpa akar intelektual.
Tantangan Zaman: Dari Budaya ke Digital
Di tengah arus globalisasi digital yang serba cepat, kita berisiko tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Anak muda lebih mengenal tokoh fiksi global ketimbang Prabu Siliwangi atau Sanjaya. Padahal, tanpa narasi sejarah yang kuat, identitas kita bisa mudah dipatahkan.
Inilah saatnya kita menghidupkan kembali mutiara-mutiara lama. Bukan hanya disimpan di museum atau perpustakaan, melainkan dihadirkan dalam bentuk yang bisa diakses generasi hari ini: literasi digital, film dokumenter, komik sejarah, atau kurikulum kreatif di sekolah.
Menatap ke Depan dengan Berbudi
Menghormati Wangsakerta, Purnawarman, atau Sri Baduga bukan hanya dengan doa, tetapi juga dengan melanjutkan spirit mereka: membangun tata kelola yang adil, ilmu pengetahuan yang berpihak pada rakyat, dan kreativitas yang berakar pada budaya sendiri.
Jika dulu mereka mendokumentasikan jejak peradaban dengan prasasti dan naskah, kini kita bisa melanjutkannya dengan data digital, arsip multimedia, dan narasi kreatif. Semua itu demi menjaga kesinambungan sejarah agar tidak tercerabut dari akar.
Manifesto Kultural
Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala salengkah. Pepatah ini adalah manifesto kultural: mari menatap masa depan dengan langkah panjang, tapi jangan pernah melepaskan genggaman pada sejarah. Kita berutang pada para leluhur yang telah menuliskan jejaknya, dan kini giliran kita menjaga, menghidupkan, serta melanjutkannya untuk generasi mendatang.
Karena bangsa yang besar bukan hanya yang mampu membangun gedung pencakar langit, melainkan bangsa yang teguh berdiri di atas fondasi sejarah dan budayanya sendiri.
Menghormati Wangsakerta, Purnawarman, atau Sri Baduga bukan hanya dengan doa, tetapi juga dengan melanjutkan spirit mereka: membangun tata kelola yang adil, ilmu pengetahuan yang berpihak pada rakyat, dan kreativitas yang berakar pada budaya sendiri.
Jika dulu mereka mendokumentasikan jejak peradaban dengan prasasti dan naskah, kini kita bisa melanjutkannya dengan data digital, arsip multimedia, dan narasi kreatif. Semua itu demi menjaga kesinambungan sejarah agar tidak tercerabut dari akar.