Kehadiran Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Provinsi Jawa Barat, Aanya Rina Casmayanti, S.E., di Kota Bekasi pada Selasa, 12 Agustus 2025, menjadi momentum penting bagi pemerintah daerah untuk memperkuat arah pembangunan sekaligus menjembatani aspirasi warga ke tingkat pusat. Kunjungan ini berlangsung di Ruang Rapat Pendopo Wali Kota Bekasi, dihadiri Sekda Kota Bekasi Junaedi, jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Reses kali ini bukan sekadar agenda seremonial. Aanya, yang telah mengunjungi 20 daerah di Jawa Barat, memosisikan reses sebagai sarana “belanja masalah” — menghimpun fakta di lapangan, menyelami keluhan warga, lalu menindaklanjutinya dalam jalur resmi DPD RI dan kementerian terkait. “Permasalahan di daerah luar biasa beragam. Kegiatan ini adalah ikhtiar untuk mencari solusi, baik di tingkat provinsi maupun pusat,” ungkapnya.
Kemandirian Daerah: Bekasi Sebagai Cermin Tantangan Perkotaan
Kota Bekasi, dengan luas 204 km² dan populasi mencapai 2,57 juta jiwa, adalah salah satu kota penyangga utama DKI Jakarta. Perekonomiannya didominasi sektor jasa dan perdagangan, didukung keberadaan 12 kawasan industri. Namun, besarnya kontribusi sektor ini belum sebanding dengan penerimaan daerah karena sebagian besar pajak mengalir ke DKI Jakarta.
Aanya menyoroti pentingnya kemandirian fiskal pemerintah daerah. Salah satunya, mendorong perusahaan dan industri yang beroperasi di Jawa Barat untuk memiliki NPWP Jawa Barat. Langkah ini diyakini akan meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) dan memperkuat pembiayaan pembangunan tanpa terlalu bergantung pada transfer pusat.
Kemandirian daerah juga berkaitan erat dengan penataan ruang kota. Wali Kota Bekasi Tri Adhianto menegaskan, visi “Bekasi Nyaman dan Sejahtera” hanya dapat terwujud melalui peningkatan kualitas hidup manusia, pelayanan publik prima, dan ekonomi yang tumbuh berkelanjutan. Namun, masalah klasik seperti banjir akibat buruknya drainase, tumpang tindih kepemilikan lahan, hingga keterbatasan infrastruktur pendidikan tetap menjadi batu sandungan.
Kolaborasi: Jalan Tengah untuk Percepatan Solusi
Dalam sambutannya, Sekda Kota Bekasi Junaedi menekankan bahwa Pemkot Bekasi membutuhkan dukungan penuh dari DPD, DPR, kementerian, dan BUMN. Isu yang diangkat beragam: penanganan sampah 1.800 ton per hari yang belum tertangani optimal, kebutuhan lahan untuk sekolah rakyat, penyediaan air bersih, hingga integrasi transportasi massal yang efisien dan terjangkau.
Aanya merespons dengan komitmen untuk mendorong pembahasan di tingkat pusat. Menurutnya, DPD RI memiliki peran strategis dalam memperjuangkan kepentingan daerah, termasuk lewat kemitraan Komite I dengan berbagai lembaga negara seperti TNI, Polri, KPK, hingga Mahkamah Agung. “Kami percaya, dengan kerja sama dan sinergi antara semua pihak, masalah dapat dicarikan solusi terbaik,” ujarnya.
Kepala Kantor DPD RI Perwakilan Jawa Barat, Herman Hermawan, menambahkan bahwa tipikal persoalan Bekasi mirip kota besar lain di Jawa Barat: biaya transportasi tinggi, sulitnya penyediaan lahan untuk fasilitas publik, dan persoalan distribusi manfaat ekonomi dari kawasan industri. Herman mendorong agar Pemda aktif menyampaikan usulan konkret yang bisa dibawa ke rapat kerja bersama menteri.
Implikasi Lebih Luas: Dari Aspirasi Menjadi Kebijakan
Salah satu nilai penting dari reses ini adalah mengubah aspirasi menjadi rekomendasi kebijakan yang terukur. Misalnya, untuk penanganan banjir, diperlukan percepatan normalisasi dan naturalisasi daerah aliran sungai (DAS), disertai pembangunan infrastruktur ramah lingkungan. Sementara untuk pendidikan, tantangan keterbatasan lahan sekolah rakyat di Bekasi memerlukan revisi aturan teknis agar lebih fleksibel.
Program strategis nasional seperti Koperasi Mitra Pemerintah (KMP) dan Makan Bergizi Gratis (MBG) juga menjadi sorotan. Keduanya diharapkan bisa menggerakkan ekonomi lokal dan meningkatkan kualitas SDM. Namun, tanpa petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang jelas dari pusat, pemerintah daerah berisiko terbebani secara anggaran dan administrasi.
Di sektor transportasi, integrasi antarmoda hingga ke tingkat “pintu rumah” warga menjadi isu utama. Biaya transportasi yang mencapai 14–20 persen pengeluaran rumah tangga dapat ditekan melalui pengaturan ulang trayek, pembangunan flyover strategis, dan penyelesaian simpul kemacetan seperti Simpang Lima Caman.