Oleh: Prof. DR. Ir. Agus Pakpahan
Rektor IKOPIN Institute Koperasi Indonesia
Warisan Pahit Kolonialisme Ekonomi
Sejarah mencatat, bangsa kita dijajah dua kali: pertama oleh senapan, kedua oleh dogma. Setelah penjajahan militer berakhir, datanglah penjajahan baru dalam bentuk liberalisme, pasar bebas, dan korporatisasi global. Semua itu masuk melalui apa yang saya sebut policy coercion—pemaksaan kebijakan.
Ha-Joon Chang dalam bukunya Bad Samaritans (2007) mengungkap hipokrisi negara-negara maju. Mereka dulu membangun kejayaan ekonominya dengan proteksionisme, intervensi negara, dan perlindungan industri. Namun, kepada negara-negara berkembang, mereka berkhotbah sebaliknya: buka pasar, terapkan liberalisasi, ikuti dogma neoliberal.
Hasilnya? Krisis 1998. Runtuhnya fondasi ekonomi nasional. Dan lahirlah generasi baru “bad samaritans” yang menjerat ekonomi Global South dengan utang, liberalisasi prematur, dan deregulasi yang justru mematikan rakyat kecil.
Bangkit dari Reruntuhan: Kekuatan Kolektif yang Dikerdilkan
Di pedalaman Kalimantan, tanpa gembar-gembor IMF atau Bank Dunia, berdiri Credit Union Keling Kumang. Sebuah koperasi dengan 230 ribu anggota, aset Rp 2,23 triliun, dan tanpa utang luar negeri. Anggotanya 72% adalah petani.
Inilah bukti bahwa ekonomi kerakyatan bukanlah mitos. Dari yang kecil, mereka menjadi besar. Dari yang lemah, mereka menjadi kuat. Dari keterpinggiran, lahir sebuah model kedaulatan. Sama seperti CHS di Amerika Serikat, Zen-Noh di Jepang, atau Nonghyup di Korea Selatan—koperasi telah menjadi sumbu kekuatan bangsa.
Gelombang Kondratieff VI: Momen Tropikanisasi
Kita memasuki Gelombang Kondratieff ke-6—era ekonomi berbasis teknologi tinggi: AI, bioteknologi, energi hijau, kesehatan holistik, dan teknologi lingkungan.
Namun hati-hati. Kita bisa kembali terjajah dalam bentuk baru: techno-colonialism.
Bayangkan—algoritma pertanian tropis dijual oleh negara beriklim sedang, gen tanaman obat nusantara dipatenkan perusahaan asing, dan energi surya tropis justru dikendalikan impor.
Jawabannya: Tropikanisasi.
Bioteknologi tropis: jamu modern dengan nano-encapsulation.
AI gambut: sensor cerdas dari desa tropika.
Energi desa: solar grid koperasi.
Kesehatan holistik: berbasis biodiversitas tropis.
Pangan tropika: memanfaatkan panas, lembab, dan sinar matahari sebagai mesin alami.
Model Kedaulatan Kooperatif-Tropis: Sintesis Penyelamatan
1. Kooperatisasi = Proteksionisme Kerakyatan
Melindungi koperasi dengan kebijakan afirmatif, sebagaimana AS dan Jerman dulu melindungi industrinya.
2. Tropikanisasi Teknologi
Membangun algoritma tropis, biokonversi, dan teknologi pangan tropis.
3. Kemandirian Finansial
Modal dari rakyat untuk rakyat, tanpa bergantung pada utang luar negeri.
4. Jaringan Global Tropis
Membangun solidaritas ekonomi tropika lintas Afrika, Asia, dan Amerika Latin—sebagai Good Samaritans sejati.
Langkah Strategis: Dari Teori ke Aksi
Bayangkan bila model Keling Kumang direplikasi di seluruh Indonesia.
1.217 koperasi skala Keling Kumang dengan 230 ribu anggota per unit.
Total aset Rp 2.714 triliun (USD 169 miliar)—setara hampir 40% utang luar negeri Indonesia.
Semua berbasis modal rakyat, tanpa jerat bank asing.
Dari desa ke kota, dari koperasi ke federasi tropis, dari komunitas ke bangsa—kita bisa membalik arus sejarah ekonomi tropis.
Revolusi Dimulai dari Tanah yang Kita Injak
Mereka bilang kita melawan arus.
Mereka bilang koperasi tidak kompetitif.
Tapi mereka lupa—Ha-Joon Chang sudah membongkar kebohongan kapitalisme global. Keling Kumang sudah membuktikan kekuatan kolektif rakyat.
Ini bukan lagi pilihan. Ini manifesto.
Mari kita lawan tipu-daya ekonomi global.
Mari bangun kedaulatan dari koperasi, dari tropika, dari rakyat.
Revolusi tropis dimulai dari tanah yang kita injak.