Oleh: Prof DR Ir Agus Pakhpahan Rektor IKOPIN (Insytute Koperasi Indonesia) Sumedang
Pembuka: Sebuah Paradoks yang Dihidangkan Langsung dari Kulkas
Bayangkan ini: sebuah kulkas keluarga kelas menengah di Jakarta. Di rak paling atas, bersinar seperti piala, apel Washington yang merah sempurna, pir Argentina yang hijau mulus, dan plum California yang ungu ranum. Mereka adalah tamu kehormatan impor. Sementara di rak bawah, terselip seikat jambu batu lokal—warnanya tidak seragam, bentuknya sedikit tidak beraturan, seolah malu-malu.
Setiap pagi, sang ibu mengambil apel itu untuk bekal anaknya. Ia yakin itu pilihan terbaik: bergizi, aman, dan bergengsi. Sang jambu batu, si superfood pemberian Tuhan yang dipanen dari kebun tetangga, hanya akan dijus jika sedang tidak buru-buru.
Ini bukan lagi sekadar cerita selera. Ini adalah potret ignoransi terhadap diri sendiri yang paling halus. Sebuah paradoks yang memilukan: bangsa tropika yang disinari matahari berlimpah, justru menjadikan buah impor sebagai simbol status, sementara menyia-nyiakan anugerah alamnya sendiri yang nutrisinya berkali-kali lipat lebih dahsyat.
Narasi yang Dijajah vs. Fakta yang Terlupakan
Kita menyukai buah temperate karena kita membeli sebuah narasi yang dikemas rapi.
•Narasi Prestise & Modernitas: Apel datang dalam kemasan bagus, seragam, dan bersih. Mereka adalah simbol status yang diimpor langsung dari negara-negara maju. Memakannya adalah pernyataan kelas. Sementara jambu batu hadir dengan segala keasliannya—beragam, mudah memar, dianggap "buah rakyat jelata".
•Narasi Keamanan & Kemasan: Lilin pada apel dipandang sebagai jaminan kebersihan, bukan ancaman. Buah lokal? Sering dicurigai "penuh pestisida" tanpa standar yang adil.
•Narasi Marketing Global: " An apple a day keeps the doctor away." Itu adalah mantra marketing yang berhasil mencuci otak global. Di mana kampanye untuk jambu batu? Faktanya, satu buah jambu batu saja mengandung Vitamin C 50x lipat dari apel. Butuh 50 buah apel untuk menyamai nutrisi 100g jambu batu. Ini bukan perbandingan, ini adalah penghancuran narasi.
Jambu batu kalah bukan di nutrisi, tetapi di perang persepsi. Ia adalah pahlawan superfood tanpa jubah yang kalah pamor dari selebritas impor yang dikemas rapi.
Fakta: Kita Membayar Mahal untuk Nutrisi Rendah, Menjual Murah Nutrisi Tinggi
Mari kita bicara angka, karena angka tidak berbohong. Mereka membongkar ilusi kita.
Ironi Harga: Nutrisi vs. Gengsi (Rata-rata Harga Pasar Jakarta, Per Kg)
Buah, Rata-rata Harga, Kandungan Andalan:
Analisis Value-for-Money:
JAMBU BATU LOKAL Rp 15.000 - Rp 25.000 Vitamin C (228mg), Serat (5.4g). Dengan Rp 20.000, Anda dapat >10.000% Vitamin C harian. Nilai yang nyaris tak ternilai.
APEL IMPOR Rp 30.000 - Rp 45.000 Vitamin C (4.6mg), Serat (2.4g) Dengan Rp 40.000, Anda hanya dapat <100% Vitamin C harian. Anda membayar 3x lipat untuk nutrisi 1/50-nya.
PLUM IMPOR Rp 50.000 - Rp 80.000 Vitamin C (9.5mg), Antioksidan Anda membayar 4-6x lipat untuk buah yang nutrisi Vitamin C-nya masih kalah 22x dari jambu batu.
BLACKBERRY IMPOR Rp 90.000 - Rp 150.000: Serat (5.3g), Antioksidan Satu-satunya pesaing nutrisi, tapi dengan harga 6-10x lipat. Jambu batu unggul Protein & Vitamin C.
Trend Impor yang Memprihatinkan:
Selama 5 tahun terakhir, impor apel Indonesia konsisten di atas 200.000 ton/tahun, menghabiskan devisa ratusan juta dolar. Sementara itu, riset dan pengembangan varietas unggul jambu batu serta buah lokal lainnya nyaris tidak mendapat perhatian serius.
Kita mengeluarkan uang triliunan rupiah untuk membeli gengsi dan nutrisi rendah, sementara petani lokal menjual nutrisi super tinggi dengan harga yang tidak sepadan. Ini bukan lagi paradoks, ini bunuh diri ekonomi dan nutrisi kolektif.
Jalan Pulang: Merebut Kembali Piring dan Harga Diri Kita
Lalu, bagaimana kita memberontak? Ini bukan tentang melarang impor, tapi tentang menyeimbangkan kesadaran dan kebijakan.
1.Membangun Narasi Balik (Counter-Narrative) yang Data-Driven: Kampanye bahwa "Superfood Itu Ada di Pekarangan Kita". Sosialisasikan fakta bahwa Vitamin C jambu batu 50x apel, dengan harga 1/3-nya. Ubah rasa malu menjadi kebanggaan.
2.Revolusi Rantai Pasok & Kemasan: Investasi pada teknologi pascapanen untuk membuat jambu batu sexy, tahan lama, dan mudah diakses oleh konsumen modern. Masalahnya bukan pada buahnya, tapi pada sistemnya.
3.Kebijakan yang Cerdas dan Berpihak: Pemerintah harus memprioritaskan pendanaan riset untuk varietas unggul jambu batu, membangun infrastruktur cold chain, dan memberikan insentif bagi industri pengolahan lokal. Setiap gigitan jambu batu adalah penghematan devisa negara.
Penutup: Pilihan di Ujung Lidah adalah Suara untuk Masa Depan
Setiap kali kita memilih sebutir apel impor seharga Rp 10.000 di atas dua buah jambu batu lokal seharga Rp 5.000, kita bukan hanya memilih rasa. Kita sedang memilih untuk mengukuhkan ketergantungan, mengabaikan warisan alam sendiri, dan memperpanjang cerita paradoks bangsa kaya yang miskin hati dan miskin nutrisi.
Jambu batu adalah cermin. Ia memantulkan segala kelebihan dan kekurangan kita: kaya nutrisi, tapi miskin packaging; kuat secara alamiah, tapi lemah secara narasi.
Sudah waktunya untuk mengambil cermin itu, membersihkannya, dan dengan bangga bercermin kembali. Mari genggam kembali kedaulatan pangan kita, dimulai dari yang paling sederhana: isi piring dan kulkas kita sendiri.
Serial Tropikanisasi adalah rubrik berkala yang membuka kesadaran akan fenomena ketergantungan budaya, ekonomi, dan pangan bangsa tropika pada produk dan narasi dari dunia temperate._